Saturday, March 17, 2012

Photo Album 2012-03-17




Read more...

Photo Album 2012-03-16 #2




Read more...

Hike to the Top, Mount Batur experience.

If you ever have heard the word said "Fight, Fight till the death".  I believed that was a thing that I applied when I and my friends climbed Mount Batur.

I am not a hiker and my friends weren't either.  We had no physical or stamina preparation.  By reading someone experience who aged 65 years old at backpacker ‘s milling list that said he was able to hike this mountain in only about 90 minutes and only took two times rest, we were pretty sure that we would be able to conquer this mountain.

So there we were, after taking late dinner at about 9 o'clock then taking 2 hours sleep, we start our adventure at 1.30 am.  We were picked up at that time and headed to Kintamani that took about 2 hours trip.

We started climbing at about 3.00 am.  We equipped ourselves with thick jacket, because we might face 8 degree of temperature, flashlight, bread, and water.  Of course all of us didn't forget our most important device, our camera, to capture the moment up-high there.  And the journey began. In 30 minutes some of us had already knocked out. 

Uphill, rocky and sandy terrain totally was not friendly arena; even it forced some of friends out of the game.  For me actually it was not easy either.  I have to push myself very hard. Sometimes I wanted to give up and stop.  I did send signal to my friends that I felt so bad that caused me want to puke.
But I was not the only one that felt so badly tired; my friends felt the same way.  It made us take rest more frequently.  After taking rest my spirit came back and I even  had more willing to get to the top.
And all of the hardships are paid off. I could make it to the top.  Actually, only two of us, out of six, that made it to the very top of the mountain.

And it was worth it.  We were given a breath-taking view even it's only lasting for seconds because of the fog. It was just worth it.

For me personally I should thank our guides, Eny who was just 14 years old and Mr. Dinda that guided and helped us very well, especially me. 

I thanked God for giving me this experience.   Seeing His amazing creatures made me only Praise Him. He is The Almighty God.

Tips for you who want to climb Mount Batur:
- Prepare yourself, your energy
- Take rest enough before climbing
- Equip yourself with anything that your guide had mentioned (contact them far before you climb)
- You can contact Mr.Dinda as your guide  at this number: 0878 064416

Enjoy some of what I’d got there!


Read more...

Sunday, March 11, 2012

Resensi Film: The Way

Terkadang Travelling menjadi hal yang sangat disukai bahkan digilai seseorang di lain pihak menjadi hal yang sangat tidak dimegerti orang lain. Kenapa harus meninggalkan hidup yang sedang dijalani sekarang untuk dapat melalui suatu perjalanan yang sepertinya tidak berujung. Di lain sisi si pejalan bertanya mengapa tidak meninggalkan hidup yang sekarang dijalani untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Bukankan seharusnya memilih hidup kita bukan hanya menjalaninya begitu saja? 

Terkadang Travelling menjadi hal yang sangat disukai bahkan digilai seseorang di lain pihak menjadi hal yang sangat tidak dimegerti orang lain. Kenapa harus mengorbankan hidup yang sedang dijalani sekarang untuk dapat melalui suatu perjalanan yang sepertinya tidak berujung. Di lain sisi si pejalan bertanya mengapa tidak meninggalkan hidup yang sekarang dijalani untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Bukankan kita seharusnya memilih hidup kita bukan hanya menjalaninya begitu saja.  



ThomaS Avery, seorang dokter mata di California menerima berita yang sangat mengejutkan tentang putranya, Daniel Avery. Daniel ditemukan meninggal pada saat akan memulai suatu perjalanan khusus. Perjalanan itu adalah Perjalanan klasik, perjalanan ziarah, merupakan perjalanan menuju makam St. James di Santiago de Compostela. 

Perjalanan menuju Santiago de Compostela sering di sebut dengan El Camino de Santiago (Spanyol) atau Le Chemin de Saint Jacques (Prancis). Perjalanan ini bisa dimulai dari beberapa tempat pemberangkatan seperti Paris, Vézelay, Arles dan Le Puy (di Prancis) dikenal dengan The French Way (Camino Francés) atau dari Porto di Utara Portugal dikenal dengan Portuguese Way, atau dari Valença, Spanyol. Perjalanan akan memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Di sepanjang jalan akan menginap di penginapan sejenis asrama (dorm) atau di gereja-gereja yang biasanya disebut Refugio atau Albergue . Para peziarah bisanya menandai diri mereka dengan kerang. Adapun pengenaan tanda kerang ini juga memiliki cerita tersendiri. Para pejiarah juga akan membawa Credencial atau dikenal dengan "Pilgrim's Passport". Paspor ini akan distempel dengan stempel resmi St.James di setiap kota atau refugio dimana para peziarah menginap. Pada akhir perjalanan setiap peziarah akan mendapatkan, The Compostela, yaitu sejenis sertifikat yang menyatakan bahwa peziarah telah menyelesaikan perjalanan ziarah tersebut. Untuk mendapatkan compostela seorang peziarah jarus berjalan minimum 100 km atau bersepeda sejauh 200 km. Sesampai di Gereja, Cathedral of Santiago, yang juga dipercaya sebagai lokasi makam St. James, banyak pejiarah yang menempelkan tangannya ke pilar yang ada di pintu masuk gereja dan memasuki gereja. Di gereja sendiri akan diadakan upacara khusus dimana nama-nama peziarah akan diumumkan dan sebuah pedupaan yang sangat besar akan diayunkan di dalam gereja, setelahnya pejiarah dapat mengikuti komuni. 

Kembali ke film. Thomas bermaksud melakukan perjalanan itu untuk putranya. Dia memutuskan untuk mengremasi jasad Daniel dan akan menaburkan abunya di tempat-tempat khusus di sepanjang perjalanan Camino de Santiago. Thomas memulai perjalanan tersebut seorang diri. Dia memulainya dari Prancis. Dalam perjalanannya dia bertemu banyak orang dengan berbagai kepribadian yang unik dan menarik, kadang membuat dia tersenyum kadang membuat dia tidak habis pikir. Tapi pada akhirnya dia berteman akrab dengan tiga peziarah lainnya. Pertama dengan Joost dari Amsterdam. Seorang pengisap ganja yang banyak bicara. Joost mendedikasikan perjalanan ini untuk bisa kurus kembali, lucu. Joost juga seorang yang baik hati dan peduli. Kemudian mereka juga bertemu Sarah dari Canada, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang berkaul akan berhenti merokok setelah menyelesaikan perjalanannya. Mereka juga bertemu dengan Jack dari Irlandia. Seorang penulis yang kehabisan ide, sehingga tidak dapat menulis lagi. Dia melakukan perjalanan ini supaya dia bisa menulis lagi. Pada awalnya mereka tidaklah saling cocok. Terutama Thomas. Dia merasa terganggu dengan kehadiran orang-orang itu disekitarnya. Apalagi pada saat itu dia masih berduka. Tetapi di sepanjang perjalanan mereka mencoba saling menyesuaikan diri, saling menolong dan bersimpati, jujur kepada diri sendiri dan kepada teman-teman seperjalanannya . Pada akhirnya membuat mereka menjadi sangat dekat dan ingin selalu bersama. Dan pengalaman berjalan bersama itu memberi banyak kenangan dan kehangatan, bahkan teman-teman ketiga temannya ikut bersama Thomas menyelesaikan misiya, menaburkan abu putranya sampai ke pantai di Muxia, mengikuti saran seorang gypsi yang ditemuinya dalam perjalanannya. 

Sepanjang film penonton akan dapat merasakan betapa dalam kesedihan Thomas atas kepergian putranya dan betapa dia sangat tersentuh atas perhatian orang-orang seperjalanannya. Demikian juga betapa tulus persahabatan yang bisa ditawarkan kepada orang lain, kepada orang yang baru dikenal sekalipun. 

Banyak percakapan yang menarik , salah satunya: 
Thomas: Have you ever walked the Camino senora? 
Pemilk Penginapan: Never, when I was young I was too busy, and now that I am older, I am to tired... 
Bagi saya itu berarti, lalukan sesuatu, sebelum kamu terlalu lelah untuk bisa melakukannya ...
Jadi pengen melakukannya juga.... :-)  Kapan ya...?

Sumber: 
Tentang El Camino de Compostela
Film: The Way

Beberapa gambar:
Catedral di Santiago de Compostela
Tanda Penginapan
Logo Modern (tanda di sepanjang jalan)
Tanda Pejiarah (digantung di tas)
Paspor Peziarah dengan stempel Prancis
Paspor Peziarah dengan stempel Spanyol
Read more...

Friday, September 30, 2011

Bau Matahari

Pernah mendengar istilah Bau Matahari?
Istilah ini dikonotasikan dengan Bau Matahri tersebut adalah bau atau aroma yang sangat tidak menyenangkan dan harus dihindari, mungkin bisa dibilang pengertiannya hampir sama dengan bau keringat.

Apakah penggunaan istilah tersebut sudah menjadi suatu ketentuan?   Karena buatku sendiri, persepsi yang muncul di kepalaku ketika mendengar istilah Bau Matahari adalah bau yang menyenangkan.  Bukan berarti aku menyukai bau keringat, siapa sih yang suka?  Tapi aku mengasumsikan Bau Matahari itu seperti bau yang menyenangkan, segar dan menghangatkan.

Persepsi ini muncul menurutku dibangun dari pengalaman masa kecilku.  Waktu kecil aku tinggal di daerah gunung yang dingin.. Suhu udara bisa sampai 20 derajat Celcius, terutama di malam dan pagi dini hari, tapi pda siang hari saat matahari bersinar terik, suhu juga bisa sampai pada 35 derajat celcius. Selimut tebal tentunya menjadi andalan untuk menghangatkan diri.  Pada waktu aku kecil, kami menggunakan kasur dan bantal yang berisi kapuk.  Jika digunakan dalam waktu yang lama maka kasur dan bantal ini berkurang ketebalannya, keras, lembab dan berbau apek.  Dalam jangka waktu tertentu, pada saat matahari bersinar terik, ibuku akan menjemur kasur-kasur ini demikian juga dengan bantal dan selimut.  Mereka akan dipukul atau digebuk dengan alat yang kami sebut dengan Bating Tilam.  Hasilnya, kapuk akan  kembali mengembang, kasur mengembang menjadi tebal, debu hilang, bau lembab dan apek juga pergi.

Nah di malam hari setelah kegiatan penjemuran inilah, tidur yang paling nikmat.  Bayangkan pada saat suhu udara dingin, kami disambut oleh kasur yang empuk, hangat dan berbau segar, begitu juga degan bantal dan selimutnya.   Dan inilah yang aku sebut dengan Bau Matahari.  Bau yang segar, hangat dan menyenangkan.

Dan karena pengalaman iniah, aku mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan oleh Laura Ingalls di buku Little House in The Prairie, dengan Bau Jerami yang menyegarkan.  Istiah itu disebutkan pada saat mereka mengganti isi dari kasur mereka dengan jerami yang baru dan hangat.

Jadi salahkah aku kalau aku menggunakan istilah Bau Matahari ke aroma yang segar, hangat dan menyenangkan?
Read more...

Friday, November 26, 2010

Penghargaan Kepada Guru Terkasih

Kedatangan Hari Guru, selalu membawa perasaaan khusus di hatiku.
Mungkin karena mama dan bapakku adalah guru.
Selain mempersiapkan bunga untuk diberikan pada hari guru, aku dan saudara-saudaraku juga mereka-reka bunga seperti apa kira-kira yang akan diterima oleh mama dan bapakku. Dalam pandanganku sendiri di waktu kecilku, semakin bagus bunga yang diterima, berarti semakin sayang murid-muridnya ke mereka... mmm dan aku merasa bangga dengan bunga-bunga yang diterima orangtuaku.

Tapi di kesempatan ini aku akan menceritakan pengalaman ku dengan seorang guru SMP ku.
Guru yang aku hormati...


Ketika itu, dia seorang pria berusia 40-an, mungkin sudah hampir 50. Badan tegap, kulit coklat gelap, garis wajah keras, sebagaimana perawakan lelaki Batak pada umumnya. Pembawaannya, gerak-geriknya, suaranya, jangan ditanya, bisa dibilang menakutkan untuk gadis kecil seusiaku di SMP.

Kesangaran itu ditambah dengan ketidaksabarannya terhadap sesuatu yang lambat. Tiada ragu mengeluarkan suara yang menggelegar bahkan kadang dengan 'sentilan' fisik yang membuat semua siswa takut berdekatan dengannya. Baik di dalam kelas atau di luar kelas dia ingin semuanya berjalan dengan cepat dan tepat. Dia mengharapkan murid-muridnya mengerti apa yang dia ajarkan dengan cepat yang memang dia uraikan dengan sangat baik, mungkin karena ketakutan atau ketidaksenangan terhadp pelajarannya yang membuat para siswa sulit mengerti pelajaran darinya.

Di luar kelas kesangaran itu dapat terlihat pada saat beliau ikut mengatur barisan di pagi hari. Kala itu sebelum pelajaran dimulai semua siswa harus berbaris untuk olah-raga (senam kesegaran jasmani), menerima pengarahan dari bapak/ibu guru dan berdoa bersama. Kalau beliau telah berada di tengah-tengah lapangan, lengkap dengan tongkat di tangannya, maka tidak ada lagi siswa yang bermalas-malasan untuk berbaris, semua bergerak cepat membentuk barisan yang lurus dan rapi, sehingga senam dapat segera dilakukan.

Beliau memang guru yang tidak terlalu disukai di sekolahku kala itu. Murid-murid akan merasa tertekan di kelasnya. Tapi beliau memang lebih banyak mengajar siswa kelas 3 yang mungkin lebih kuat mentalnya. Tapi aku juga bisa melihat adanya rasa bangga dari kakak-kakak kelasku kalau mereka 'survive' dari kelas matematika guruku itu.

Dan tiba giliranku untuk mengalaminya sendiri. Giliranku dan teman-temanku yang akan diajarnya. Pada awalnya semua tegang. Takut membuat kesalahan. Takut menjawab, kami lebih banyak diam. Tetapi beliau tidak berhenti, terus saja bertanya, sebagian pertanyaan mulai bisa kami jawab. Lama-kelamaan pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi terlaku menakutkan. Dan kami mulai bisa mengikuti pelajarannya, walaupun tetap bisa dibilang dia bukan guru favorit kami.

Suatu siang, seorang guru berhalangan masuk karena sesuatu hal, pelajaran kosong di jam-jam terakhir. Kami semua tentu saja merasa senang, karena kemungkinan bisa pulang lebih awal. Tapi ternyata ada guru pengganti. Tau siapa? Si guru matematika yang sangar itu. Alih-alih bisa pulang lebih awal, kami malah harus berhadapan dengan guru yang tidak begitu kami sukai. Tapi ada yang berbeda, siang itu beliau tidak mengajarkan kami pelajaran matematika, tapi mengajarkan kami bernyanyi. Bernyanyi? Aneh! Apakah beliau bisa bernyanyi? Kami saling bertatapan. Lagu yang diajarkan juga sama sekali tidak akrab ditelinga kami, bukan lagu nasional, bukan lagu daerah. Lagu itu memang menggunakan bahasa batak, tetapi kami rata-rata belum mengenal lagu itu, termasuk aku, ternyata lagu itu dari Buku Ende (Buku Puji-pujian di Gereja HKBP).

Tapi beliau sangat bersemangat mengajarkan lagu itu, beliau bahkan meminta kami memperhatikan syairnya. Beliau tidak menjelaskan panjang lebar apa arti lagu itu, hanya menyanyikan dan mengajarkannya dengan sepenuh hati.
Syairnya adalah:

Dung sonang rohangku dibaen Jesus i
Porsuk pe hutaon dison
Na pos do rohanku di Tuhan ta i
Dipasonang tong-tong rohang kon
Sonang do, sonang do, dipasonang tongtong rohangkon

Diporsan Tuhanku sandok dosangki
Bolong Tu nadao do dibaen
Nang sada naso jujuron na be i
Na Martua tondingku nuaeng
Sonang do, sonang do, dipasonang tongtong rohangkon



Beliau kelihatan sangat menghayati lagu tersebut, terutama yang bait ke dua. Karena itu juga lah, maka aku mengenal lagu ini.
Beberapa tahun kemudian, di kampus, aku mendengar lagu dengan melodi yang sama, tapi kali ini dalam teks Bahasa Inggris, demikian juga aku mendengar sejarah lagu itu. Sungguh lagu itu memang lagu yang sangat indah.

When peace like a river
Attended my way
When sorrow like seas' billows rolls\
Whatever My Lord, You have taught me to say
It is well, It is well with my soul


Selain kenangan dengan lagu itu, aku juga memiliki kenangan indah lainnya dengan guruku itu. Bagaimana tidak, ketika itu, beliau juga bersedia memberikan pelajaran tambahan di kelas kami, tanpa memungut biaya se-peser pun. Beliau hanya menyuruh kami datang dan belajar. Waktu itu Sekolah Sore (les tambahan) untuk murid kelas tiga adalah hal yang wajar dilakukan. Untuk memantapkan pengetahuan kami pada pelajaran-pelajarsan yang di-EBTANAS-kan (mungkin sekarang bisa disebut UAN-kan), dan bisanya selalu dikenakan biaya pelajaran tambahan. Tapi entah kenapa tahun itu tidak ada sekolah sore, jadilah kami belajar tambahan untuk matematika saja, tanpa dipungut biaya tambahan, hanya datang dan belajar.

Ada waktu aku teringat kepada beliau. Ketika mengenang wajahnya, bukan kesangaran yang hadir dalam pikiranku, tetapi ketekunan dan keiklasannya dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya, bahkan melebihi tugas dan tanggung-jawab yang seharusnya ditanggungnya.

Penghargaanku kepada Bp. J. Munthe (JM), Guru Matematika, SMP Negeri 1 Dolok Sanggul, 1990-1991.
Selamat hari Guru 25 November. Semoga Tuhan memberkati seluruh guru dimanapun berada. Sungguh jasamu tiada tara.

Jakarta
25 Nov 2010
Read more...