Friday, November 26, 2010

Penghargaan Kepada Guru Terkasih

Kedatangan Hari Guru, selalu membawa perasaaan khusus di hatiku.
Mungkin karena mama dan bapakku adalah guru.
Selain mempersiapkan bunga untuk diberikan pada hari guru, aku dan saudara-saudaraku juga mereka-reka bunga seperti apa kira-kira yang akan diterima oleh mama dan bapakku. Dalam pandanganku sendiri di waktu kecilku, semakin bagus bunga yang diterima, berarti semakin sayang murid-muridnya ke mereka... mmm dan aku merasa bangga dengan bunga-bunga yang diterima orangtuaku.

Tapi di kesempatan ini aku akan menceritakan pengalaman ku dengan seorang guru SMP ku.
Guru yang aku hormati...


Ketika itu, dia seorang pria berusia 40-an, mungkin sudah hampir 50. Badan tegap, kulit coklat gelap, garis wajah keras, sebagaimana perawakan lelaki Batak pada umumnya. Pembawaannya, gerak-geriknya, suaranya, jangan ditanya, bisa dibilang menakutkan untuk gadis kecil seusiaku di SMP.

Kesangaran itu ditambah dengan ketidaksabarannya terhadap sesuatu yang lambat. Tiada ragu mengeluarkan suara yang menggelegar bahkan kadang dengan 'sentilan' fisik yang membuat semua siswa takut berdekatan dengannya. Baik di dalam kelas atau di luar kelas dia ingin semuanya berjalan dengan cepat dan tepat. Dia mengharapkan murid-muridnya mengerti apa yang dia ajarkan dengan cepat yang memang dia uraikan dengan sangat baik, mungkin karena ketakutan atau ketidaksenangan terhadp pelajarannya yang membuat para siswa sulit mengerti pelajaran darinya.

Di luar kelas kesangaran itu dapat terlihat pada saat beliau ikut mengatur barisan di pagi hari. Kala itu sebelum pelajaran dimulai semua siswa harus berbaris untuk olah-raga (senam kesegaran jasmani), menerima pengarahan dari bapak/ibu guru dan berdoa bersama. Kalau beliau telah berada di tengah-tengah lapangan, lengkap dengan tongkat di tangannya, maka tidak ada lagi siswa yang bermalas-malasan untuk berbaris, semua bergerak cepat membentuk barisan yang lurus dan rapi, sehingga senam dapat segera dilakukan.

Beliau memang guru yang tidak terlalu disukai di sekolahku kala itu. Murid-murid akan merasa tertekan di kelasnya. Tapi beliau memang lebih banyak mengajar siswa kelas 3 yang mungkin lebih kuat mentalnya. Tapi aku juga bisa melihat adanya rasa bangga dari kakak-kakak kelasku kalau mereka 'survive' dari kelas matematika guruku itu.

Dan tiba giliranku untuk mengalaminya sendiri. Giliranku dan teman-temanku yang akan diajarnya. Pada awalnya semua tegang. Takut membuat kesalahan. Takut menjawab, kami lebih banyak diam. Tetapi beliau tidak berhenti, terus saja bertanya, sebagian pertanyaan mulai bisa kami jawab. Lama-kelamaan pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi terlaku menakutkan. Dan kami mulai bisa mengikuti pelajarannya, walaupun tetap bisa dibilang dia bukan guru favorit kami.

Suatu siang, seorang guru berhalangan masuk karena sesuatu hal, pelajaran kosong di jam-jam terakhir. Kami semua tentu saja merasa senang, karena kemungkinan bisa pulang lebih awal. Tapi ternyata ada guru pengganti. Tau siapa? Si guru matematika yang sangar itu. Alih-alih bisa pulang lebih awal, kami malah harus berhadapan dengan guru yang tidak begitu kami sukai. Tapi ada yang berbeda, siang itu beliau tidak mengajarkan kami pelajaran matematika, tapi mengajarkan kami bernyanyi. Bernyanyi? Aneh! Apakah beliau bisa bernyanyi? Kami saling bertatapan. Lagu yang diajarkan juga sama sekali tidak akrab ditelinga kami, bukan lagu nasional, bukan lagu daerah. Lagu itu memang menggunakan bahasa batak, tetapi kami rata-rata belum mengenal lagu itu, termasuk aku, ternyata lagu itu dari Buku Ende (Buku Puji-pujian di Gereja HKBP).

Tapi beliau sangat bersemangat mengajarkan lagu itu, beliau bahkan meminta kami memperhatikan syairnya. Beliau tidak menjelaskan panjang lebar apa arti lagu itu, hanya menyanyikan dan mengajarkannya dengan sepenuh hati.
Syairnya adalah:

Dung sonang rohangku dibaen Jesus i
Porsuk pe hutaon dison
Na pos do rohanku di Tuhan ta i
Dipasonang tong-tong rohang kon
Sonang do, sonang do, dipasonang tongtong rohangkon

Diporsan Tuhanku sandok dosangki
Bolong Tu nadao do dibaen
Nang sada naso jujuron na be i
Na Martua tondingku nuaeng
Sonang do, sonang do, dipasonang tongtong rohangkon



Beliau kelihatan sangat menghayati lagu tersebut, terutama yang bait ke dua. Karena itu juga lah, maka aku mengenal lagu ini.
Beberapa tahun kemudian, di kampus, aku mendengar lagu dengan melodi yang sama, tapi kali ini dalam teks Bahasa Inggris, demikian juga aku mendengar sejarah lagu itu. Sungguh lagu itu memang lagu yang sangat indah.

When peace like a river
Attended my way
When sorrow like seas' billows rolls\
Whatever My Lord, You have taught me to say
It is well, It is well with my soul


Selain kenangan dengan lagu itu, aku juga memiliki kenangan indah lainnya dengan guruku itu. Bagaimana tidak, ketika itu, beliau juga bersedia memberikan pelajaran tambahan di kelas kami, tanpa memungut biaya se-peser pun. Beliau hanya menyuruh kami datang dan belajar. Waktu itu Sekolah Sore (les tambahan) untuk murid kelas tiga adalah hal yang wajar dilakukan. Untuk memantapkan pengetahuan kami pada pelajaran-pelajarsan yang di-EBTANAS-kan (mungkin sekarang bisa disebut UAN-kan), dan bisanya selalu dikenakan biaya pelajaran tambahan. Tapi entah kenapa tahun itu tidak ada sekolah sore, jadilah kami belajar tambahan untuk matematika saja, tanpa dipungut biaya tambahan, hanya datang dan belajar.

Ada waktu aku teringat kepada beliau. Ketika mengenang wajahnya, bukan kesangaran yang hadir dalam pikiranku, tetapi ketekunan dan keiklasannya dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya, bahkan melebihi tugas dan tanggung-jawab yang seharusnya ditanggungnya.

Penghargaanku kepada Bp. J. Munthe (JM), Guru Matematika, SMP Negeri 1 Dolok Sanggul, 1990-1991.
Selamat hari Guru 25 November. Semoga Tuhan memberkati seluruh guru dimanapun berada. Sungguh jasamu tiada tara.

Jakarta
25 Nov 2010
Read more...

Wednesday, November 3, 2010

Looking Back and Smile

Aku pernah mendengar atau membaca kalimat yang kira-kira berkata "How could you imagine to dance in the rain, if you were so afraid of wet?". Bagiku kalimat ini adalah tantangan untuk meraih sesuatu yang sangat aku inginkan.


Aku pernah mendengar atau membaca kalimat yang kira-kira berkata "How could you imagine to dance in the rain, if you were so afraid of wet?". Bagiku kalimat ini adalah tantangan untuk meraih sesuatu yang sangat aku inginkan.

Memikirkan kemungkinan akan gagal menjadi penghalang terbesar dalam memulai usaha untuk mencapai, meraih memiliki sesuatu. Apalagi kalau sampai kegagalan itu terpublikasi kepada pihak/orang lain, mmm... rasanya semakin berat untuk memulai.

Tapi bayangkan saja jikapun aku tidak memulai usaha untuk meraih impiannya, impian itu akan hilang lenyap tak berbekas, tidak akan tercapai juga...
Kenapa harus takut terekspos? Biar saja. Toh yang perduli apakah impianku tercapai atau tidak hanyalah diriku sendiri, orang lain tidak.
Orang lain bisa berpikir atau berkata apa saja tentangku, tapi yang menentukan siapa aku adalah aku.

Pengalaman berusaha mencapainya akan memperkaya pribadiku.

It doesn't mean that by stepping to the rain, I'll be able to dance. But at least I experienced the rain. Nothing to loose... :-)

By the end of the journey I'll be able to look back and smile for any of the result. :-)
I believe so....

So just take your step to the rain, and try to dance!


Jakarta-20101103

Read more...